Senin, November 30, 2009

TRIBUTE TO ROGELIO URQUIZA



Rogelio Urquiza (left) passed away on 9 August. He tirelessly provided support and played a major role in the movement using his detailed vision and well thought-out ideas on issues such as tackling poverty and the importance of involving the most excluded members of society, which have made a major contribution to the development of the movement as we know it today.

The America region paid him a special tribute, as borne out by this personal account by Alberto De Urquiza from Emmaus Burzaco:

“I met Rogelio in August 1981. He introduced himself along with the members of the San Martín district cooperative, which had been part of the Emmaus Argentina national secretariat since December 1980. When it was his turn to introduce himself, he conveyed all the mysticism of Emmaus through his words and he was very obviously one of us.

On 10 October 1982 Rogelio was elected as national representative for the Argentina region in order to support Santiago Balista. During his time as regional representative from 1982 – 1991, when he joined the Executive Committee, he was appointed as the Executive Committee Latin American advisor by the Maine (US) administrative committee. Rogelio took on this role without forgetting his permanent desire to boost the Argentinean groups, with his no-table achievements including the re-launch of Emmaus Cordoba, with this being recognized on a number of occasions by the leaders of the group.

In 1984, his order (the Society of Jesus) transferred him to Resistencia where he found out about the existence and work of the Betania Community, which he invited to join Emmaus. Its members make up the present day Emmaus Resistencia.

In 1988, Rogelio attended the Verona Assembly with Gilberto Ledesma on behalf of the San Martín district cooperative and during subsequent visits to European communities he underlined the importance of having an Emmaus community in San Martín, which resulted in the creation of Traperos de Mendoza.

He had a great affinity with the Burzaco group and shared with us the same vision of what Emmaus should be right from the outset. Rogelio valued the group’s work, both that of the community, the Casa del Niño and the technical school, which was vitally important for us. He defended our educational ethos based on quiet day-to-day efforts working with the poorest members of society. These concepts were mistrusted by most of the Latin American groups at the time, but are now issues for the movement, with many people claiming to have the capacity – including the theory – to run this type of initiative with poor people, without taking into consideration the knowledge provided by years of experience of working in this area.

Rogelio was a key figure at institutional and a more personal level with regard to supporting the community and the rag picking work. He was always able to give the right advice and offer a vision of the future centering on people and the commitment to the poor.

When organizing the 1991 administrative committee in a small working group with him, we coined a phrase, which was the meeting’s slogan and concisely reflected his thoughts and work: “Our objective is to ensure that poor people take charge of changing their lives.”

Rogelio was a member of the Executive Committee for eight years until 1999, alongside Franco Bettoli, another Emmaus movement “great” who has also sadly passed away.

He has always been recognized at international level for his ability to see the fundamental problems and to provide a valid opinion on how to solve them. He was also valued by his “people”, as we saw in his final farewell.”


Brigitte Mary, general secretary of Emmaus International from 1986 to 1991 gives her personal account:


A major Emmaus International figure passed away at the start of August. Rogelio Urquiza is the person whose thoughts and work have most influenced me.


We first met in May 1979 when I visited the San Martín district in Mendoza where he had joined Father José María Llorens. However, they were not in when I arrived. I started waiting in front of the door, but a neighbor quickly invited me into her house. Her limitless admiration for both men shone through as she told me anecdotes about life in the district and their work. Rogelio and José María had come to live alongside the inhabitants of this dis-trict, which was set up by squatters on a former rub-bish dump. The residents were looked down upon for a long time for being poor and had had to fight to avoid being evicted. J.M. Llorens' book entitled Opción fuera de la ley tells the story of these struggles.


Hervé Teule, who was elected as the general secretary of Emmaus International at the end of 1976, met them during a visit to the Emmaus Latin America groups in 1978. The three men decided to re launch Emmaus in Mendoza after many years of inactivity.


Rogelio, a Jesuit priest, had been a psychology professor and then the director of education at a university. In San Martín, he was very close to the residents and encouraged them to create a range of community organizations in order to improve their daily lives, education using specially tailored teaching methods and training for activists, and encouraged them to take collective action. Rogelio was always present, offering advice and encouragement, but never held a management post or a position of power. Unfairly taken away from Mendoza and sent to Resistencia by the order, the protests of the district’s residents enabled him to return to Mendoza after several months away.


A modest man, Rogelio was the main driving force behind the rebirth of Emmaus in Argentina in the mid-1980s. He also contributed to the thinking of Emmaus International as the Argentina region representative on the administrative committee and then as the America region representative on the Executive Committee.

Sabtu, April 18, 2009

Foto perjalanan ke Lebanon02












































































































































Foto perjalanan ke Lebanon



Pemandangan kota Beirut dari kamar apartemen Foto bersama di Baalbeck


































































































Foto-foto di reruntuhan kuil Baalbeck

Rabu, April 08, 2009

CATATAN PERJALANAN KE LEBANON

PENGURUSAN VISA

Pada awalnya, setelah mendapat pemberitahuan tentang persiapan penyelenggaraan EA - Regional Meeting di Lebanon, direncanakan untuk membuat visa di Kedutaan Besar Lebanon di Jakarta, dengan menggunakan jasa travel agent yang biasa dipakai oleh Yayasan Penghibur, yaitu Ibu Joy Ramley dari Tusindo.

Tetapi, setelah visa mulai diurus, pihak travel agent mengatakan bahwa lebih mudah untuk mengurus visa dari Lebanon dan kemudian mengirimkan copy visa lewat email, daripada mengurus sendiri di Kedutaan Besar Lebanon di Jakarta.
Informasi ini kemudian saya sampaikan kepada pihak pe-nyelenggara meeting, yaitu staff AEP (Association d’Entraide Professionnelle) di Lebanon, yang lalu mengurus visa untuk semua peserta meeting dari India, Bangladesh, Indonesia, dan Emmaus Internasional - Prancis.

Ms. Lena Sayyad dari AEP menjanjikan bahwa visa akan jadi pada tanggal 1 atau 2 Maret dan akan dikirimkan dua sampai tiga hari kemudian. Tetapi, sampai tanggal 6 Maret, satu hari sebelum keberangkatan, visa belum dikirimkan. Saya menunggu sampai tengah malam sambil mempersiapkan dokumen-dokumen lain yang saya perlukan dalam rapat nanti.

Sampai jam 00:30 lebih, visa belum dikirimkan. Saya was-was, karena kalau sampai besok pagi visa belum saya dapatkan, berarti saya bisa batal berangkat, padahal semua sudah dipersiapkan. Karena tidak kuat menahan kantuk, akhirnya sekitar jam satu kurang, saya pergi tidur, daripada besok tidak bisa bangun.
Paginya, sekitar jam 08:00 pagi saya kembali mengecek email, dan ternyata copy visa sudah dikirimkan. Rasanya mak-plong di dada. Lega, karena semua dokumen yang saya perlukan sudah lengkap, dan saya sudah bisa berangkat.

PERJALANAN KE LEBANON
Minggu, tanggal 8 Maret 2009, jam 10:30, saya berangkat dari Yayasan Penghibur - Kelet dengan diantar sopir dan seorang anak panti yang kebetulan sedang libur sekolah.

Sebelum sampai Semarang, tepatnya di Sayung - Demak, saya sempatkan untuk membeli film dan baterai kamera untuk persiapan dokumentasi kegiatan di Lebanon nanti. Maklum, kamera saya masih pakai negative film, belum digital, yang tinggal charge, lalu klik.

Sebelum ke Bandara, saya menjemput Tyas, seorang anak asuh PA Trisno Ing Siwi yang berkuliah di Akper Telogorejo, karena dia kebetulan libur dan juga nanti harus mengambil tiket untuk tamu dari Finlandia yang akan datang pada bulan April.

Saya sampai di Semarang jam 13.30. Karena penerbangan ke Jakarta, GA 241, akan berangkat pada pukul 14.05, maka setelah menukarkan uang ke USD untuk keperluan pembayaran visa di Lebanon, saya langsung check in dan boarding.

Pesawat GA 241 yang saya tumpangi tiba di Jakarta pada pukul 15:05. Karena penerbangan saya selanjutnya ke Kuala Lumpur masih lama, yaitu jam 19:50, maka saya menunggu di luar terminal kedatangan dan kemudian pada jam 19:05, saya check in.

Saat menukarkan uang di Semarang, sebenarnya saya sudah diberitahu oleh petugas money changer, bahwa uang fiskal naik dari Rp. 1.000.000,- menjadi Rp. 2.500.000,-, dan harus dibayarkan oleh WNI yang belum mempunyai NPWP, sementara untuk yang sudah mempunyai NPWP tidak dikenakan fiskal, asal dapat menunjukkan kartu NPWP-nya, tetapi saya belum yakin, karena saya belum melihat pengumuman dari Ditjen pajak.

Pada waktu check in di bandara Soekarno-Hatta, barulah saya melihat pengumuman kenaikan fiskal tersebut di depan loket Ditjen pajak, yang bersebelahan dengan loket pembayaran fiskal. Karena uang Rupiah yang saya bawa kurang, maka saya terpaksa menukarkan uang € 100 yang seharusnya untuk membayar membership fee Emmaus Asia ke Rupiah, untuk membayar fiskal dan pajak bandara.

Pada saat pemeriksaan paspor, saya sempat dicekal oleh petugas Imigrasi, karena ada kemiripan nama dengan orang yang masuk daftar cekal. Setelah pemeriksaan, petugas Imigrasi me-nyarankan untuk memasukkan nama bapak sebagai nama keluarga apabila nanti memperpanjang passport, supaya tidak terjadi lagi pencekalan / masuk zona merah di kemudian hari.

Penerbangan saya berikutnya ke Kuala Lumpur menggunakan pesawat Malaysia Airlines (MH-724), berangkat pada jam 19:50 dan sampai di KLIA (Kuala Lumpur International Airport) pada jam 22:50 waktu Kuala Lumpur.

Menurut saya KLIA adalah Bandar Udara yang paling nyaman dan fleksibel yang pernah saya singgahi. Meskipun besar, tetapi penumpang tidak akan kebingungan jika perlu pindah pesawat atau bahkan pindah terminal, sebab disana terdapat banyak petunjuk yang terpasang. Ada juga pusat informasi jika kita perlu suatu informasi.

Di Kuala Lumpur, saya harus menukar pesawat, dari MH-724 ke MH-156 tujuan Dubai dan Beirut – Lebanon. Untuk menukar pesawat, saya harus pergi ke pintu C-35 dengan naik kereta khusus untuk menghubungkan antar terminal. Keadaan di dalam kereta ini mirip dengan didalam busway.

Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Beirut memakan waktu cukup lama. Sebelum sampai di Beirut, pesawat transit di Dubai, Uni Emirat Arab sekitar jam 04.00 waktu Dubai. Pramugari mengatakan bahwa ada waktu 1 ¼ jam untuk beristirahat atau berjalan-jalan di bandara. Waktu senggang ini saya manfaatkan untuk pergi ke toilet.

Dari toilet saya bermaksud kembali ke pesawat, tetapi pintu menuju ke pesawat telah ditutup, jadi saya harus kembali ke ruang tunggu yang ada dibawah lantai kedatangan. Kelihatannya memang gampang untuk pergi kesana, tetapi ternyata repot juga. Saya harus turun dulu dari ruang kedatangan, kemudian baru naik lift ke ruang transit. Setelah check keamanan di ruangan ini, barulah saya bisa pergi ke ruang tunggu untuk boarding. Karena ini adalah pengalaman pertama saya di bandara ini, maka saya agak kesulitan untuk mencapai ruang tunggu. Untunglah saya bertemu dengan seorang petugas bandara, yang memberikan saya petunjuk.

Pesawat MH-156 yang saya tumpangi melanjutkan penerbangan ke Beirut pada jam 05.15 waktu Dubai dan sampai di Bandara Rafiq Hariri - Beirut pada jam 07:00 waktu setempat. Di bandara ini saya terkaget-kaget. Bagaimana tidak, karena pelayanan publik di terminal keda-tangan bandara ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan bandara internasional yang lain. Meskipun saya termasuk orang yang santai, tetapi yang saya alami disana tetap membuat saya heran.

Saya harus bertanya kepada seorang tentara untuk dapat menemukan toilet, sebelum saya melakukan pengecekan passport dan visa, walaupun sebenarnya ruangannya tidak terlalu besar, karena tidak ada papan petunjuk yang dapat terlihat jelas. Memasuki ruang toilet, saya lebih kaget lagi, sebab tidak ada air untuk menyiram toilet, kertas toilet habis semua, dan ada toilet yang habis dipakai BAB, tetapi belum disiram, karena tidak ada air untuk menyiramnya. Alamakk….

Dari toilet, saya bermaksud untuk mengecekkan passport dan visa saya. Petugas imigrasi mengatakan bahwa saya harus membeli pe-rangko (materai) di bank, karena visa yang saya ajukan adalah Visa on Arrival. Tetapi, bank yang ditunjuk ternyata belum buka, dan saya harus menunggu di depan loket bank tersebut.

Sementara menunggu, saya berpikir untuk mengambil gambar bandara, seperti yang biasa saya lakukan kalau saya sampai di bandara-bandara lainnya. Celakanya, ternyata tidak diperkenankan mengambil foto di bandara ini. Seorang petugas keamanan berpakaian preman mendatangi saya dan meminta saya untuk menghapus foto yang baru saja saya ambil. Karena saya menggunakan kamera non digital (masih memakai negative film), maka petugas tersebut meminta rol film yang ada di dalam kamera. Untung, film yang diambil itu adalah film sisa meeting di Bangladesh November 2008 yang lalu, yang tinggal beberapa film. Namun tetap saja, saya harus kehilangan foto-foto yang saya ambil di KLIA & Dubai International Airport.

Karena saya baru pertama kali datang ke Lebanon dan karena saya orang Indonesia, maka petugas tersebut tidak memperpanjang masalah (hebat ya Indonesia?) dan memberikan penjelasan, bahwa tidak diperbolehkan mengambil foto di dalam airport, karena takut digunakan untuk kepentingan mata-mata (memangnya saya ada tampang sebagai mata-mata? ;)


HARI PERTAMA DI LEBANON
Keluar dari bandara saya mencari orang yang memegang tulisan nama saya, Indonesia atau Emmaus diruang penyambutan, tetapi tidak ada. Karena itu, sayapun keluar dari ruang itu dan menunggu di luar, karena saya pikir, siapa tahu orangnya menunggu di luar.

Setelah menunggu beberapa saat, seorang lelaki datang dan menanyakan nama saya sambil memperlihatkan foto copy passport saya. Ternyata dia adalah sopir taksi yang ditugaskan untuk menjemput saya. Pantasan saja saya tidak melihat tanda-tandanya, karena yang dia pegang hanyalah foto copy-an passport, yang tentu saja tulisannya tidak akan dapat saya lihat dari jauh. Sopir taksi ini kemudian mengantar saya ke penginapan yang telah ditunjuk oleh panitia dari AEP.

Lagi-lagi, di penginapan ini saya juga mengalami hal yang menggelikan bin menggemaskan, kalau tidak mau dikatakan menjengkelkan. Di ruang resepsionis, seorang ibu memberikan saya kunci dan menunjuk sebuah bangunan sambil mengatakan sesuatu dalam Bahasa Perancis. Alamak, mana saya ngerti maksudnya?

Untunglah, seorang ibu kemudian datang dan menterjemahkan kata-kata ibu yang memberi saya kunci tadi. Beliau kemudian mengantarkan saya ke apartemen yang dimaksud, dan me-nyerahkan kunci sambil mengatakan bahwa saya harus naik ke lantai sebelas dan membuka pjntu utama dan pintu kamar saya dengan kunci yang diberikannya tersebut.

Dengan menggunakan lift, sayapun naik ke lantai sebelas, dan kemudian berusaha membuka pintu utamanya dengan kunci yang saya miliki. Tapi meskipun kunci-kunci yang saya miliki sudah berkali-kali saya coba, saya tidak dapat membuka pintu tersebut. Saya terus mencoba, karena saya pikir, siapa tahu kuncinya yang macet, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya. Akhirnya saya putuskan untuk turun ke ruang tunggu di lantai dasar dan istirahat dulu sambil membaca koran yang saya dapatkan di pesawat.

Disaat sedang membaca Koran, seorang wanita datang. Karena pintu apartemen terkunci dari dalam, maka sayapun membukakan pintu baginya. Dia menanyakan sesuatu dalam Bahasa Perancis. Setelah saya jelaskan bahwa saya tidak dapat berbicara dalam Bahasa Perancis, kami pun berbincang dalam Bahasa Inggris, karena ternyata wanita ini bisa Bahasa Inggris. Saya kemudian menceritakan tentang masalah kunci kamar yang saya alami kepadanya.

Setelah berbincang dengannya, kemudian saya pergi ketempat ibu yang memberi saya kunci tadi. Ibu ini kemudian membawa kunci lain dan mengajak saya ke apartemen, tentu saja dengan bahasa Tarzan.

Kami kemudian naik ke lantai sebelas, dan ibu ini mencoba sendiri kunci yang dia bawa, untuk membuka pintu lantai sebelas, tetapi ter-nyata juga tidak dapat. Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya kami kebali ke tempatnya. Ibu ini menawari saya untuk makan dulu di kafetaria, sementara dia mencari kunci kamar saya.

Setelah saya selesai makan, kami kembali ke kamar saya, dan dia mencoba membuka pintu lantai sebelas dengan kunci baru yang dia bawa. Tetapi, lagi-lagi pintu tidak dapat terbuka. Diapun kemudian kembali ke ruangannya untuk mencari kunci lain dan meminta saya untuk menunggu di ruang tunggu apartemen.

Saat sedang menunggu, saya bertemu lagi dengan wanita yang me-ngajak saya ngobrol tadi, dan kamipun kembali berbincang. Dia mengatakan, bahwa akibat dari perang, secara garis besar Lebanon terbagi menjadi dua, yaitu wilayah Muslim dan Kristen. Tempat saya berada sekarang, kebetulan adalah wilayah Kristen. Dia juga menerangkan bahwa ada dua agama di Lebanon, yaitu Muslim dan Kristen. Tetapi, didalam Islam Lebanon terdapat suatu kelompok yang agak berbeda dengan orang Muslim pada umumnya. Mereka percaya pada reinkarnasi. Dalam kepercayaan mereka, apabila seseorang bersikap baik semasa hidupnya, maka orang tersebut akan terlahir kembali sebagai manusia, tetapi jika tidak, maka orang tersebut akan terlahir sebagai binatang atau makhluk lainnya.

Sementara kami berbincang, wanita pengurus apartemen datang dengan membawa beberapa kunci dan mengajak saya untuk naik kembali ke lantai sebelas. Setelah beberapa kunci dia coba, akhirnya pintu utama berhasil terbuka, dan saya dapat memasuki kamar.

Setelah mengatur barang, saya pun mandi dan kemudian beristirahat. Saat sedang istirahat, seorang pria, yang ternyata adalah tetangga saya di lantai sebelas, mengetok pintu. Pria ini kemudian menjelaskan tentang pembagian kamar mandi untuk penghuni apartemen, dan dari penjelasannya, saya tahu, bahwa ternyata saya sudah salah pakai kamar mandinya.

Setelah beristirahat, saya bermaksud untuk memberikan laporan kepada pimpinan, bahwa saya sudah sampai dengan selamat di Lebanon. Ternyata, dari 3 kartu HP yang saya miliki (Indosat, Telkomsel, dan XL Bebas), hanya kartu XL Bebas-lah yang bisa saya gunakan, sama halnya ketika di India, Bangladesh, Malaysia, dan Dubai. Meskipun terkena roaming, tetapi lumayan, daripada saya harus mencari kartu baru. Terutama disaat darurat dan belum bisa mendapatkan kartu perdana lokal.
Sekitar jam 20:00, Chady Rached, seorang staff AEP yang saya kenal, datang dan mengajak saya untuk jalan-jalan dan makan malam di pusat kota Beirut. Dengan mobilnya kami kemudian pergi ke pusat kota, dan diteruskan berjalan kaki untuk melihat aktifitas malam Kota Beirut. Udara di Beirut sangat dingin. Meskipun saya sudah memakai pakaian berlapis-lapis plus jaket, tetap saja saya merasa kedinginan. Walaupun kami berjalan-jalan mengitari pusat kota, tetapi sama sekali tidak terasa capai, apalagi sampai berkeringat. Dari pengukur udara yang ada dimobil Chady, saya tahu bahwa temperatur malam itu ber-kisar antara 17 o C – 18 o C.
Bangunan-bangunan yang saya lihat di pusat Kota Beirut sangat me-ngagumkan. Banyak sekali bangunan-bangunan bergaya Eropa Klasik. Meskipun bergaya klasik, tetapi sebenarnya masih baru. Bangunan-bangunan tersebut sebelumnya telah hancur akibat perang dan kemudian dibangun kembali dengan bentuk dan ukuran seperti aslinya. Kami juga pergi melihat reruntuhan bangunan Romawi kuno dan makam Mantan PM. Lebanon, Rafiq Hariri, yang tewas dalam sebuah insiden bom bunuh diri.

Setelah berjalan-jalan, Chady mengajak saya makan malam di sebuah restoran. Sambil menunggu makanan yang kami pesan, dia menjelaskan, bahwa daerah yang telah saya lihat adalah daerah kaya di Lebanon. Setelah rapat, staff AEP akan mengajak peserta rapat melihat wilayah miskin di Lebanon, yang juga memiliki banyak masalah.

Saat makanan datang, saya baru tahu, bahwa makanan utama di sini adalah roti. Semua makanan yang ada dalam menu, ternyata ada rotinya. Termasuk makanan yang saya pesan, yang saya kira adalah ikan bakar/ goring, ternyata adalah daging ikan dibungkus roti, seperti hot dog. Setelah makan, saya diantar kembali ke apartemen untuk beristirahat.

HARI KEDUA DI LEBANON
Senin, 9 Maret 2009 adalah hari kedua saya di Lebanon. Setelah mandi, saya pergi ke ruang kafetaria untuk sarapan, karena semalam Chady mengatakan bahwa AEP sudah membayar penginapan dan makanan untuk saya di apartemen itu.

Di ruang tunggu / resepsionis apartemen yang kemarin kosong, pagi ini ada dua orang wanita yang berjaga. Di ruang kafetaria yang kemarin kosong, juga ada seorang wanita yang bertugas melayani makanan. Setelah makanan disediakan, sayapun mulai sarapan.

Setelah saya selesai makan, petugas kafetaria meminta bayaran dari makanan yang saya makan. Sayapun berusaha menjelaskan bahwa saya adalah tamu AEP, dan makanan saya di apartemen tersebut ditanggung oleh mereka. Apalagi saat itu uang Lebanon yang saya punya hanya ada 4000 Lira.

Sialnya, wanita ini hanya bisa berbahasa Arab dan Perancis, jadi kelihatannya dia tidak mengerti apa yang saya katakan. Akhirnya saya menunjukkan surat undangan dari AEP, dan menjelaskan kepadanya sekali lagi. Penjaga kafetaria ini kemudian menghu-bungi pihak managemen, dan baru mengerti apa yang saya maksud. Saya pun bisa meninggalkan ruang kafetaria dengan tenang.

Dari ruang kafetaria, saya pergi ke ruang direktur untuk memfoto copy passport dan mengisi data pribadi, atas permintaan salah seorang pengurus. Setelah urusan administrasi selesai, saya kembali ke kamar dan mempelajari dokumen-dokumen yang saya miliki dan menulis laporan perjalanan ke Lebanon, karena menurut saya ada hal-hal menarik yang harus saya dokumentasikan. Lagipula, hari ini adalah ‘hari bebas’ bagi saya, karena belum ada agenda untuk rapat dan peserta rapat dari negara lain juga belum datang.

Sorenya, sekitar jam dua, saya pergi ke kafetaria dengan maksud untuk makan siang (karena di jadwal yang saya miliki, makan siang adalah jam dua), tetapi ternyata kafetaria tutup. Saya terpaksa pergi ke toko yang ada didekat apartemen untuk membeli roti pengganjal perut.

Malamnya, peserta rapat dari India, Bangladesh, dan Emmaus International - Perancis datang, sekitar jam 19.00 waktu Beirut. Semula, direncanakan untuk makan malam bersama, tetapi karena peserta rapat dari Bangladesh dan India masih terlalu capai, maka saya hanya makan malam bersama beberapa staff dari AEP dan tiga orang dari Emmaus International.


HARI KETIGA DI LEBANON
Hari selasa, 10 Maret 2009. Setelah sarapan bersama, sekitar jam 08:30 peserta meeting berangkat ke kantor AEP, tempat dimana rapat akan diselenggarakan. Kami sampai di sana sekitar 15 menit kemudian, dan disambut dengan ramah oleh staff AEP.

Rapat dimulai sekitar jam 09:10 dan berlangsung sampai jam 18:00, dengan diselingi coffe break pagi (jam 11:00), makan siang (jam 14.15), dan coffee break sore (jam 16:00). Notulen rapat terlampir.

Setelah meeting, kami, peserta rapat, kembali ke apartemen, dan kemudian pada jam 20:00 saya, Ms. Moon dari New Delhi, dan tiga orang dari Emmaus International makan malam di pusat kota, diantar oleh Roberto, seorang staff AEP. Sebelum makan malam, terlebih dahulu kami berjalan-jalan melihat kompleks pertokoan, perkantoran, bank, masjid Muhammad Malik, dan makam Rafik Hariri. Tempat-tempat ini adalah tempat yang pernah saya kunjungi bersama Chady.

Orang Lebanon mempunyai berbagai macam makanan untuk sekali makan. Mulai dari salad sebagai makanan pembuka (yang sebenarnya sudah cukup untuk membuat kenyang), kemudian disusul dengan makanan yang kami pesan, dan diakhiri dengan makanan penutup, yang terpaksa tidak saya habiskan karena sudah terlalu kenyang.

Pada jam 22:30 kami kembali ke apartemen untuk beristirahat, karena besok masih ada agenda rapat yang harus diselesaikan.


HARI KEEMPAT DI LEBANON
Rabu, 11 Maret 2009. Kegiatan pagi berlangsung seperti biasa. Tetapi pagi ini saya mulai merasakan masalah dengan kulit saya, karena udara di Beirut yang cukup ekstrim dinginnya. Kulit terasa kering dan bahkan mulai mengelupas. Setelah mandi dan sarapan, kami pergi dengan taksi ke kantor AEP untuk rapat (Notulen rapat terlampir).

Malamnya, sekitar jam 20:00, staff AEP datang dan mengajak peserta meeting untuk makan malam bersama di sebuah mall yang ada di Beirut. Kata mereka mall ini adalah mall terbesar yang ada di Lebanon.

Restoran ini sangat ramai dan sesak. Untunglah, Ms. Lena, seorang staff AEP, mengenal manajer dari restoran tersebut, sehingga kami tetap bisa mendapatkan meja. Di restoran ini saya lihat banyak orang merokok dengan alat khusus berupa tabung berisi air. Mereka memberitahu saya nama alat tersebut, tetapi lupa, karena tidak saya catat. Setelah makan malam, kami kembali ke apartemen dengan berjalan kaki, sekaligus untuk menikmati suasana malam Kota Beirut.

HARI KELIMA DI LEBANON
Kamis, 12 Maret 2009. Pagi itu rasa kering dan perih di muka saya semakin menjadi. Setelah mandi, saya pergi sarapan di kafetaria bersama dengan peserta meeting lainnya.

Meeting berjalan dengan baik, dan berakhir pada jam 13:30. Semua agenda rapat telah dibahas (notulen rapat terlampir), karena kami punya agenda kunjungan yang harus dilakukan.


JEITA GROTTO
Jam 14.00 siang kami pergi ke Jeita-Groto. Saya kira, itu adalah nama proyek AEP, tetapi ternyata Jeita Grotto adalah nama sebuah tempat wisata di Lebanon, yang berupa goa berusia ratusan ribu tahun. Letaknya sekitar 20 km ke arah utara Beirut, tepatnya di Lembah Nahr Al-kalb atau yang dalam Bahasa Indonesianya kurang lebih berarti ‘Sungai Serigala’. Goa ini masuk nominasi tujuh keajaiban dunia baru versi New Seven Wonders yang berkantor pusat di Lisabon, Portugal.

Untuk mencapai gua, ada tiga cara, yaitu dengan berjalan kaki, naik kereta gantung, atau kereta yang ditarik dengan traktor, seperti yang biasanya ada di tempat wisata di Indonesia, misalnya di Candi Borobudur

Untuk lebih dapat menikmati alam dan pemandangan, kami memilih untuk berjalan kaki dari tempat parkir, menapaki jalan menanjak menuju ke goa dan gedung teater. Sebelum memasuki gua, kami terlebih dahulu melihat film dokumenter tentang Jeitta Grotto di ruang teater.

Jeitta Grotto terdiri dari dua lapisan. Pada lapisan pertama terdapat danau bawah tanah yang luasnya lebih dari 500 meter, dan kita harus menggunakan perahu kecil untuk dapat menikmati pemandangan di dalam gua. Panjang sungai bawah tanah yang membentuk danau dan goa ini mencapai lebih dari 6 km.

Sedangkan goa pada lapisan atas, yang terdapat beberapa ratus meter di atasnya, adalah goa yang menyimpan koleksi berbagai macam stalagtit & stalagmit yang sangat menakjubkan dan lebih hebat daripada yang terdapat pada goa lapisan bawah. Bahkan beberapa stalagmit tingginya mencapai lebih dari 8 meter. Ada juga yang membentuk menara, peta timbul, dan berbagai ukiran lain yang sangat indah.

Karya agung yang terukir oleh alam selama ratusan ribu tahun di dalam goa ini benar-benar menakjubkan dan pasti akan membuat semua orang yang melihatnya berdecak kagum oleh pesona keindahannya.

Selain Goa, di Jeitta Grotto juga terdapat kebun binatang mini. Koleksinya adalah beberapa jenis unggas, dan beberapa jenis hewan lainnya.

Setelah puas menikmati pemandangan di Jeitta Grotto, kami kembali ke apartemen untuk mandi dan mempersiapkan diri, karena malamnya kami mendapat undangan makan malam dengan seluruh staff AEP disebuah restoran Spanyol di Beirut.

Staff AEP yang datang dalam acara makan malam itu sekitar 30-an orang. Beberapa dari mereka bahkan datang dari cabang AEP yang letaknya cukup jauh, seperti dari Bekha, yang jaraknya sekitar 3 jam dari Beirut, dll. Pada acara tersebut saya berkesempatan untuk berkenalan dan berbincang-bincang dengan presiden AEP.

Pada acara makan malam bersama itu, kami dihibur dengan live musik. Kami menikmati makan malam dengan diiringi musik. Setelah acara ramah-tamah, kami juga berdansa dan menari bersama. Acara makan malam itu selesai pada jam 00:15, saya dan peserta meeting yang lain pun kembali ke apartemen untuk beristirahat.


HARI KEENAM DI LEBANON
Acara hari ini adalah kunjungan ke proyek-proyek AEP. Jam 06:30 kami sudah siap, dan sekitar 10 menit kemudian Ms. Lena Sayad datang dengan sebuah bus untuk menjemput kami.

Setelah perjalanan selama kurang lebih dua setengah jam, kami sampai di sebuah pegunungan yang bernama Yahle. Pada beberapa tempat, bahkan di pinggir jalan, saya masih melihat sisa-sisa salju yang belum mencair. Kami mampir di sebuah rumah makan untuk sarapan, karena waktu sudah menunjukkan jam 08:45 waktu setempat. Di rumah makan itu sudah ada 2 orang perwakilan AEP yang akan mengantarkan kami untuk meninjau proyek AEP dan juga mengunjungi beberapa tempat wisata historis.

Mereka mengatakan, jika kami datang satu minggu sebelumnya, maka kami akan dapat bermain salju, karena masih banyak dan juga lapisannya cukup tebal. Salju mulai mencair setelah beberapa kali diguyur hujan lebat dan terkena sinar matahari yang beberapa hari ini bersinar cerah (tapi untuk saya, tetap saja duingine poll…).


PABRIK ‘WINE’ (ANGGUR) KSARA
Setelah sarapan, kami di ajak untuk melihat sebuah pabrik wine yang terdapat di dekat rumah makan tempat kami makan. Dikebun anggur pabrik tersebut, kami melihat banyak pohon anggur setinggi kurang lebih satu meter yang telah dipotongi dan hanya disisakan 2-3 cabang saja.

Menurut petugas di sana, pada bulan Januari sampai April, pohon-pohon anggur dipotongi ranting dan cabangnya. Pada bulan Mei, kebun anggur mulai dibajak dengan traktor dan dipupuk, supaya pohon anggur dapat bersemi kembali dengan baik. Saat pohon mulai rimbun, akan dilakukan pemotongan cabang dan ranting serta perambatan ranting anggur ke kawat penyangga. Setelah itu akan disemprotkan obat khusus, supaya pohon anggur dapat berbunga dan berbuah dengan maksimal.

Di loby pabrik, diperlihatkan kepada kami film dokumenter tentang sejarah pabrik wine Ksara, mulai dari jaman penjajahan kekaisaran Romawi, jaman kesultanan Turki, penjajahan Perancis, sampai perkembangan terkini dari pabrik tersebut. Setelah melihat film, kami diajak oleh staff pabrik yang menjadi guide kami, untuk melihat gua tempat penyimpanan anggur buatan pabrik itu.

Di dalam gua, tersimpan produksi wine mulai lebih dari seratus tahun yang lalu. Tumpukan botol anggur itu telah tertutup oleh debu yang sangat tebal. Guide kami mengatakan, bahwa setiap 10 tahun baru akan terbentuk debu setebal satu millimeter, yang akan menyelimuti tumpukan botol-botol anggur. Melihat tebalnya debu yang menyelimuti tumpukan botol di depan saya, tidak heran kalau umurnya sudah ratusan tahun.

Di dalam gua terdapat banyak sekali lorong-lorong penyimpanan botol anggur dan juga gallon-gallon kayu yang umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Lorong-lorong tersebut pada masa penjajahan Romawi dan Perancis serta saat perang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mengungsi. Selama mengungsi, mereka menggali lorong-lorong baru dan labirin di dalam gua untuk membingungkan orang-orang yang mengejar mereka. Oleh sebab itu, maka setelah perang, gua tersebut menjadi semakin panjang dan banyak lorong-lorong labirinnya.

Dari dalam gua, kami pergi ke café, dimana kami dapat membeli dan mencoba anggur buatan pabrik itu. Di perjalanan, kami melihat mesin-mesin yang pernah dipakai untuk memproduksi anggur, dari alat pemeras anggur pada masa awal pendirian pabrik, sampai dengan mesin penutup botol yang pernah dipakai oleh pabrik tersebut.

Di café (atau lebih tepatnya Bar), kami diperkenalkan dan diberikan kesempatan mencoba beberapa jenis anggur buatan mereka, mulai hasil produksi 1997 sampai produksi 30 - 50 tahun yang lalu. Lumayan manjur untuk menghangatkan badan saya yang kedinginan. kami juga pergi ke show room pabrik. Disana terpajang beberapa sample produk buatan 50 sampai lebih dari 100 tahun lalu, selain produk untuk dijual. Harga anggur berkisar antara 4 USD sampai lebih dari 50 USD perbotol. Team dari EI membeli beberapa botol anggur. Sebenarnya saya juga tertarik untuk membeli sebotol anggur sebagai cinderamata, tetapi takut kalau disita oleh petugas bandara. Karena setahu saya, dilarang membawa minuman beralkohol dalam pesawat.

KUNJUNGAN KE KANTOR CABANG AEP
Dari pabrik anggur, kami pergi ke kantor cabang AEP di Bekha, sebuah desa di bukit di dekat Ksara. Dari pabrik anggur, jaraknya antara setengah jam perjalanan dengan bus. Dua orang staff yang juga mengantar kami ke pabrik anggur turut serta dengan kami.

Di kantor ini, kami ditemui oleh seorang staff, yang merupakan relawan AEP untuk wilayah ini. Relawan ini masuk dua hari dalam satu minggu. Dia adalah saudara dari petugas AEP yang mengantar kami ke pabrik anggur.

AEP cabang Bekha selain melayani mikro kredit, juga melayani pemeriksaan kesehatan gratis bagi ibu dan anak, serta pemeriksaan gigi. Ada banyak gambar tentang hak perempuan dan anak yang terpasang di tembok kantor.

Setelah puas berkeliling kantor, kami meneruskan perjalanan selanjutnya, tetapi hanya seorang staff kantor cabang AEP yang menemani kami serta Ms. Lena Sayyad untuk meninjau proyek AEP dan juga melihat-lihat objek wisata sejarah yang ada di sekitar wilayah Bekha.


KUIL BAALBEEK
kami pergi ke Kuil Baalbeek, yaitu kuil yang didirikan oleh bangsa Romawi untuk menghormati Dewa Jupiter, dewa tertinggi mereka, dan beberapa dewa lainnya. Kuil ini sebenarnya sangat besar dan megah, tapi sayang bencana gempa bumi merusakkan sebagian besar bangunan ini, meskipun dahsyatnya perang justru tak pernah menyentuhnya. Hanya tersisa beberapa puing-puing bangunan dan beberapa pilar yang masih tegak berdiri.

Pembuatan kuil ini memerlukan waktu yang sangat lama dalam pemerintahan beberapa kaisar Romawi. Pada sebuah prasasti tertulis nama beberapa orang kaisar yang membubuhkan namanya. Dari corak bangunannya juga dapat diketahui, bahwa ada beberapa arsitek yang menangani desainnya.

Kuil ini pernah dikuasai oleh berbagai Negara. Termasuk Turki, Arab, Perancis, dan akhirnya Lebanon. Pernah menjadi gereja dan juga masjid. Pada saat pertama ditemukan, hanya beberapa bagian saja yang terlihat. Kemudian dilakukan penggalian dan pemugaran oleh arkeolog dari Jerman, atas seijin pemerintah Turki.

Selain puing-puing pilar, didalam museum kuil ini kita juga dapat melihat beberapa ornament, patung, foto-foto, gambar perkiraan bentuk aslinya, dan juga tulisan tentang sejarah kuil.

Beberapa batu yang digunakan sebagai tiang kuil mempunyai berat lebih dari 20 ton. Batu-batu ini didatangkan dari Mesir, untuk membawanya, digunakan tenaga ratusan ribu budak. Beberapa batu juga dibawa dengan kapal-kapal laut, dan kemudian ditarik oleh budak-budak dari pantai sampai bukit tempat kuil didirikan.

Menurut guide yang memandu kami, Kedutaan Besar Indonesia di Lebanon pernah mengadakan acara kesenian tradisional di tempat ini. Yaitu pementasan musik dan tarian tradisional Indonesia. Selain Indonesia, beberapa Negara lain juga pernah mengadakan acara serupa di kuil ini.

Setelah melihat-lihat kuil, kami diantarkan oleh guide ke tempat penjualan souvenir, dengan alasan bahwa bus kami parkir di halaman pertokoan tersebut. Disana kami melihat-lihat koleksi berbagai souvenir yang dijual, tetapi tidak ada yang membeli souvenir. Entahlah, mungkin harganya yang terlalu mahal atau barangnya yang kurang menarik.


NOTRE DAME DU LIBAN
Dari Kuil Baalbeek, kami pergi ke sebuah gereja, dimana terdapat patung Bunda Maria menangis. Gereja ini disebut dengan Gereja “Notre Dame Du Liban” (Putri dari Lebanon). Kejadian ini disaksikan oleh seorang anak yang sedang berdoa di gereja tersebut. Sejak kisah ini beredar, gereja ini menjadi sangat terkenal. Banyak peziarah datang ketempat ini untuk berdoa.

Disamping gereja bersejarah ini, saat ini sedang dibangun sebuah gereja yang besar, karena gereja lama tidak dapat lagi menampung peziarah-peziarah yang datang. Oleh seorang biarawan, kami diberi selebaran yang isinya adalah rencana pendirian gereja baru tersebut, rancang bangunnya, dan juga permintaan bantuan dana pembangunan gereja.

Gereja ini dijaga dengan sangat ketat oleh tentara. Selain satu regu tentara dan sebuah panser yang berjaga di depan gereja, seleum memasuki wilayah ini kami juga harus melewati pos pemeriksaan yang dijaga ketat oleh tentara bersenjata lengkap dan juga beberapa panser. Setelah melihat-lihat gereja, kami makan siang di sebuah rumah makan yang letaknya di depan gereja.

Ditempat ini, kami juga bertemu dengan seorang tukang listrik (kalau disini, mungkin seperti BTL) yang pernah mendapat bantuan dari AEP untuk pengembangan usahanya, dan sudah dilunasi semuanya dengan mencicil selama 2 tahun.

Dari tempat tukang kayu, kami pergi mengunjungi nasabah AEP Bekka yang mempunyai usaha di bidang bengkel dan pertanian, yang tempatnya sekitar 15 menit perjalanan dari tempat tukang kayu yang kami kunjungi sebelumnya.

Bapak ini meminjam uang dari AEP untuk mengembangkan usaha pertaniannya, yaitu untuk membeli traktor. Usaha pertanian ini dijalankan oleh orang lain, karena dia lebih memilih untuk menggeluti bengkel mobilnya. Bapak ini dulu pernah meminjam untuk pengembangan bengkel mobilnya, tetapi hutang tersebut sudah dilunasinya.

Sekedar informasi tambahan, di jalanan Lebanon hamper semuanya dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi. Sangat sulit menjumpai sepeda motor di sana, apalagi bus umum yang besar. Kendaraan yang umum disana adalah taksi. Ada juga minibus, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Bus besar juga ada saya jumpai, tetapi selama satu minggu disana, hanya lima atau enam bus yang saya temui. Sedan sangat mendominasi jalanan di Lebanon.

Setelah kunjungan dari bengkel, kami langsung kembali ke Beirut. Diperjalanan, kami sempat berhenti di sebuah pantai untuk berjalan-jalan sambil melihat matahari terbenam.

Pada jam 18:00 kami sampai di apartemen. Kami tidak makan malam, karena perut masih kenyang dan juga terlalu lelah dengan perjalanan melihat tempat wisata bersejarah di Lebanon dan sample proyek AEP. Sebenarnya Mr. Raihan dari Bangladesh mengajak saya keluar untuk jalan-jalan dan makan malam, tetapi pada saat saya turun pada jam 20:00, sesuai perjanjian, ternyata beliau masih tidur, jadi saya kembali ke kamar untuk beristirahat juga.


HARI KETUJUH DI LEBANON
Hari ini adalah hari kunjungan bebas bagi kami, peserta meeting. Ms. Lena sudah memesan bus untuk kami, yang akan mengantarkan kami kemanapun kami ingin pergi. Kami tidak punya ide tempat untuk di kunjungi, jadi kami serahkan kepada sopir bus untuk membawa kami melihat tempat-tempat wisata di sekitar Beirut.

Tempat pertama yang kami datangi adalah kantor MTC Lebanon, karena Mr. Oswald ingin membeli kartu telepon untuk menghubungi staff Kudumbam di India.

Dari MTC Lebanon, kami pergi ke makam Malik Hariri, seorang mantan PM Lebanon yang meninggal dalam sebuah insiden bom di sebuah kompleks pertokoan di Beirut yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Malik Hariri dimakamkan di samping masjid Muhammad Malik di pusat kota Beirut. Di dalam komplek makam ini juga turut dimakamkan para sahabat dan pengawal Malik Hariri yang turut meninggal dalam insiden bom tersebut.

Perjalanan dilanjutkan ke sebuah pantai di dekat Beirut. Pantai ini terletak di bawah jurang. Untuk melindunginya agar tidak terkikis oleh ombak, dipinggir jurang diletakkan pemecah ombak. Beberapa ratus meter dari pantai, ada batu karang yang menjulang tinggi dan kokoh berdiri meskipun diterpa oleh dahsyatnya ombak. Pemandangan ditempat ini sekilas seperti di Tanah Lot - Bali. Ditempat ini kami menjumpai dua orang imigran dari Tamilnadu - India, yang bekerja sebagai tukang sapu dan kebersihan. Kami sempat berbincang-bincang dan berfoto dengan mereka.
Sebagai informasi, di Lebanon biasanya pekerjaan kasar seperti tukang sapu ini dilakukan oleh para imigran, bukan oleh penduduk Lebanon sendiri.

Di perjalanan, kami melewati kamp pengungsi dari Palestina di luar kota Beirut, yang kondisinya sangat bertolak belakang dengan keadaan warga Lebanon pada umumnya. Tempat mereka kumuh dan kesan miskin sangat terlihat disini.

Tempat berikutnya yang kami kunjungi adalah Deir El-Qamar, sebuah desa wisata di atas bukit, yang terletak di Lebanon Tengah-Selatan. Di desa ini banyak terdapat peninggalan kastil dan bangunan tua lainnya yang terbuat dari batu dan beratap genteng merah. Pada abad 16 - 18, Deir el Qamar adalah tempat tinggal Gubernur Lebanon. Disini terdapat beberapa banguna yang didirikan pada abad ke 15, seperti Masjid Fakhreddine, Istana Fakhreddine II, dan banyak lagi bangunan bersejarah lainnya.

Pada masa kejayaannya, desa ini pernah menjadi pusat sastra dan tradisi Arab, dan desa pertama di Lebanon yang menjadi kotamadya pada tahun 1864. Desa ini juga tempat lahirnya banyak orang-orang terkenal, seperti artis, penulis, dan politikus. Oleh sopir kami diberi waktu selama empat puluh lima menit, jadi ada banyak waktu untuk menikmati pemandangan desa yang kuno dan unik ini.

Dari desa ini, kami pergi ke Beit Edine, sebuah kastil yang besar dan sangat indah, yang terletak ± 5 km dari Deir el Qamar. Kastil ini di bangun oleh Emir Bechir II, pada abad ke-18. Saya sempat mengambilbeberapa foto sebelum akhirnya film saya habis. Celakanya, walaupun sudah beberapa toko foto didekatnya saya datangi, tetapi tidak ada yang menjual film kamera, melainkan hanya melayani cetak foto digital dan penjualan aksesoriesnya. Jadi terpaksa, sejak saat itu saya tidak dapat mengambil foto lagi.

Tempat berikutnya yang kami kunjungi adalah Saiba, kota tempat kelahiran Rafiq Hariri, mantan PM Lebanon yang tewas dalam ledakan bom yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Di tempat ini kami sempat bertanya kepada sopir, apakah akan ada staff AEP yang akan menemani kami, karena kami merasa agak kesulitan untuk berkomunikasi dengan sopir tersebut. Ternyata tidak ada staff AEP yang akan bergabung dengan kami, jadi terpaksa kami melanjutkan perjalanan kami tanpa pendamping.

Di Saiba, kami mencari makan siang, setelah menunggu staff AEP yang tidak datang-datang, sementara perut sudah lapar. Kami makan disebuah kedai roti dan memesan sandwich, yang harganya relatif murah ( sekitar 1 USD atau Rp. 12’500 / porsi).

Dari Saiba, kami mengantarkan Ms. Moon dan Ms. Kousalya ke bandara Maliq Hariri, karena mereka harus terbang kembali ke India pada jam 17.00. Kami sampai di bandara jam 16:15, dan kemudian kembali pulang ke apartemen, karena merasa tidak perlu lagi melanjutkan perjalanan tanpa pendampingan dari AEP.


HARI KEDELAPAN DI LEBANON
Hari ini, Minggu, 15 Maret 2009, adalah hari terakhir saya di Lebanon. Rencananya, jam 09:00 pagi taksi akan menjemput saya dari apartemen dan kemusian mengantar ke bandara.

Jam 06:00 pagi saya sudah bangun dan mandi. Barang-barang sudah saya bereskan semalam, jadi saya bias agak santai. Jam 08:00 kurang, saya sudah siap. Setelah menaruh tas di ruang tamu, saya naik ke lantai delapan untuk berpamitan dengan Mr. Oswald, Mr. Raihan, Mr. Aleksander, dan Kamal.

Taksi yang menjemput saya datang pada jam 09:15. Saya sampai di Airport Rafiq Hariri jam 09:45. karena penerbangan saya masih lama, yaitu jam …. Dan ruang check in belum di buka, maka saya memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan di bandara ini.

Kalau saya amati, keadaan terminal keberangkatan jauh lebih baik daripada terminal kedatangan. Lebih bagus dan lebih nyaman. Yang agak aneh dan berbeda dengan bandara lainnya, di dalam ruang tunggu keberangkatan, yang ber-AC, banyak orang yang merokok. Padahal kalau di bandara lain, pasti sudah di-semprit oleh petugas. Tetapi disini, dibiarkan saja.


PERJALANAN PULANG
Pesawat MH–157 yang saya tumpangi berangkat pada jam 12:10 dari Rafiq Hariri International Airport. Karena saya duduk di samping jendela, maka dari dalam pesawat saya dapat melihat pemandangan Kota Beirut yang berbukit-bukit. Sangat indah. Semakin tinggi pesawat terbang, kota Beirut semakin menghilang, tertutup oleh awan. Dalam hati terucap : “Sampai jumpa Lebanon, semoga suatu saat nanti aku dapat kembali ke sini. Aku akan sangat merindukan saat-saat disini...”

Mendekati kota Dubai, pesawat mulai menurun, dan saya dapat melihat pemandangan di bawah dengan bebas. Pertama saya melihat kebawah, tidak ada apa-apa yang dapat saya lihat, kecuali padang gurun. Kemudian mulai terlihat satu-dua rumah, lalu semakin banyak. Komplek peerumahan di padang gurun mulai banyak terlihat. Kemudian disambung dengan komplek pertokoan dan perkantoran, pergudangan, dan akhirnya kota Dubai pun terlihat.

Pesawat mendarat dengan mulus di Dubai International Airport pada jam 16:10 waktu setempat. Sama seperti waktu berangkat, kami juga diberi waktu sekitar setengah jam untuk relaksasi di bandara. Saya pun pergi ke toilet untuk cuci muka supaya lebih segar. Karena saya sudah pernah singgah di bandara ini, maka tidak mengalami kesulitan untuk menemukan ruang tunggu pesawat seperti sebelumnya. Bahkan saya bias menjadi penunjuk jalan untuk beberapa orang teman seperjalanan yang tidak tahu jalan.

Hal yang unik dari bandara ini adalah adanya ruang khusus untuk merokok. Di bandara lain mungkin ada, tetapi biasanya digabungkan dengan kafe atau tempat makan, sehingga orang yang ingin merokok terpaksa mampir ke tempat tersebut dan membeli sesuatu untuk dapat merokok. Tetapi di Dubai airport, ruang tersebut diletakkan di samping setiap ruang tunggu pesawat, sehingga penumpang yang menunggu saat boarding dan ingin merokok, dapat merokok di ruang tersebut tanpa harus membeli sesuatu dan tidak mengganggu penumpang lain yang tidak merokok.

Dari Dubai saya melanjutlkan perjalanan ke Kuala Lumpur. Dari dalam pesawat saya dapat melihat pemandangan kota Dubai pada waktu malam yang bermandikan cahaya lampu. Sangat indah, karena tidak terlihat lagi kesan gersang dan panas yang terpancar dari padang gurun seperti pada saat siang hari. Setelah tidak terlihat lagi lampu-lampu, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan menonton film lalu tidur, karena penerbangan masih sangat panjang. Pesawat baru akan sampai di Kuala Lumpur keesokan harinya, tepatnya pada jam 06:05 waktu Kuala Lumpur.

Saat transit di KLIA, saya mempunyai waktu luang yang cukup panjang, karena penerbangan saya selanjutnya ke Jakarta dengan pesawat MH-711 baru akan berangkat pada jam 09:10 waktu Kuala Lumpur. Waktu luang ini saya manfaatkan untuk membuka email dan mengecek Friendster serta blog saya. Siapa tahu ada email atau komentar yang masuk. Kemudian jam 08:20 saya sudah boarding dan menghabiskan sisa waktu di ruang tunggu pesawat.

Saya sampai di Bandara Soekarno - Hatta pada jam 10:10 WIB. Pada waktu pemeriksaan paspor di loket Imigrasi, lagi-lagi saya masuk zona merah, karena masalah kesamaan nama dengan orang-orang yang kena cekal. Sekali lagi petugas Imigrasi meminta saya untuk menambahkan nama Bapak sebagai nama keluarga apabila nanti memperpanjang passport, supaya tidak masuk zona merah atau kena cekal, sehingga kenyamanan perjalanan saya tidak akan terganggu lagi.

Setelah mengambil bagasi, saya pergi ke terminal F, karena saya harus meneruskan perjalanan ke Semarang. Saya masih mempunyai waktu yang cukup panjang untuk beristirahat, dari jam 10:15 sampai sore, karena penerbangan saya ke Semarang baru akan take-off pada jam 15:25. Sebelum berangkat, saya mendapat pemberitahuan dari kantor, kalau jemputan sudah ada di Semarang, karena ada dua tamu mahasiswa dari Finlandia yang ikut pergi ke Semarang.

Perjalanan dari Jakarta ke Semarang berlangsung dengan lancar. Pesawat Garuda Airlines yang saya tumpangi sampai di Semarang kurang lebih jam 16:30. Mobil Yayasan Penghibur yang menjemput sudah ada di tempat parkir, jadi kami bisa langsung pulang ke Kelet.

Saya sampai di Yayasan Penghibur—Kelet sekitar jam 19:00 WIB. Setelah laporan singkat, saya pergi ke kamar untuk mandi dan beristirahat.


PENUTUP
Saya sangat bersyukur karena sudah diberikan kesempatan untuk dapat mengikuti Emmaus Asia Regional Council Meeting di Lebanon. Ini adalah suatu anugerah yang sangat berarti untuk saya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin mengucap syukur yang tak terkira kepada Tuhan Yesus, yang telah memberikan saya waktu dan kesempatan indah ini.

Tentu saja, saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bpk. Suprapto Ismudjito dan Ibu Anna-Liisa Jaanu Ismudjito, yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi world council di bidang Training & New Generation, mewakili Indonesia pada umumnya, dan Yayasan Penghibur khususnya.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Sukati, yang telah membantu saya dalam hal pemesanan tiket dan penyiapan dokumen-dokumen yang saya perlukan dalam rapat ini. Tidak lupa, saya ucapkan terimakasih kepada rekan-rekan dan handai taulan yang telah memberikan doa dan restunya, sehingga perjalanan saya ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

Perjalanan ke Lebanon adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk saya. Dari perjalanan ini saya mendapatkan berbagai hal yang sangat bermanfaat, sebagai tambahan wawasan untuk kehidupan saya dimasa-masa yang akan datang.

Saya berharap, apa yang tertulis dalam laporan ini dapat bermanfaat bagi Anda yang membacanya, baik untuk menambah wawasan, maupun sebagai referensi untuk keperluan Anda. Bagaimanapun, saya tahu, bahwa tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu saya membuka pintu sebesar-besarnya untuk Anda yang ingin memberikan masukan, saran, maupun kritik membangun yang dapat membuat laporan ini lebih lengkap dan sempurna serta bermanfaat bagi orang banyak.

Akhir kata, sekali lagi saya mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kepercayaan dan bantuan kepada saya, sehingga saya dapat mengikuti Emmaus Asia Regional Meeting di Lebanon. Tanpa dukungan dan bantuan Anda sekalian, niscaya saya tidak akan dapat mengikuti kegiatan ini. Tuhan Yesus sendiri yang akan memberikan balasan kepada Anda sekalian dengan limpahan berkat dan anugerah-Nya. Amin.

Shallom,
Daniel Sutrisno
Penulis